Sistem Pemerintahan dan Hukum pada Masa Kesultanan Banten – Kesultanan Banten merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar dan paling berpengaruh di Nusantara pada abad ke-16 hingga abad ke-18. Terletak di ujung barat Pulau Jawa, wilayahnya yang strategis menjadikan Banten sebagai pusat perdagangan internasional, sekaligus pusat penyebaran agama Islam di bagian barat kepulauan Indonesia. Di balik kejayaannya sebagai pelabuhan dunia, Kesultanan Banten juga dikenal memiliki sistem pemerintahan dan hukum yang kompleks, memadukan nilai-nilai Islam, adat lokal, serta praktik politik maritim.
Didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin sekitar tahun 1526, putra dari Sunan Gunung Jati dari Cirebon, Kesultanan Banten tumbuh dari kerajaan kecil menjadi kekuatan besar berkat posisinya di jalur perdagangan internasional Selat Sunda. Seiring berkembangnya kekuasaan, Banten membangun sistem pemerintahan yang efisien dan terorganisir, mencerminkan kematangan politik serta kemampuan adaptasi terhadap berbagai pengaruh — dari Islam hingga pengaruh Eropa.
1. Pemerintahan Sultan sebagai Pusat Kekuasaan
Puncak kekuasaan di Banten berada di tangan Sultan, yang berperan sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, sekaligus pemimpin agama. Sultan dianggap sebagai Zillullah fil Ardh (bayangan Tuhan di bumi), memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk menegakkan keadilan dan menjaga kesejahteraan rakyat.
Kekuasaan Sultan tidak bersifat absolut; ia dibantu oleh Dewan Menteri dan pejabat tinggi kerajaan yang disebut punggawa, bupati, dan syahbandar. Struktur ini menggambarkan keseimbangan antara kekuasaan pusat dan daerah.
Beberapa jabatan penting dalam sistem pemerintahan Banten antara lain:
- Perdana Menteri (Patih Agung): bertugas sebagai tangan kanan Sultan, mengatur administrasi dan kebijakan pemerintahan sehari-hari.
- Tumenggung: pejabat yang memimpin wilayah tertentu dan bertanggung jawab atas keamanan serta ketertiban.
- Syahbandar: mengatur pelabuhan, perdagangan luar negeri, dan urusan diplomatik. Jabatan ini sangat penting mengingat Banten merupakan pelabuhan internasional yang ramai.
- Penghulu dan Qadhi (Hakim Agama): mengurus urusan keagamaan, pernikahan, wakaf, dan hukum Islam.
- Bendahara Kerajaan: mengatur keuangan dan pajak yang masuk dari perdagangan serta hasil bumi.
Sultan biasanya didampingi oleh ulama dan penasihat spiritual, yang berperan besar dalam menentukan arah kebijakan politik yang selaras dengan syariat Islam. Ini menunjukkan bagaimana pemerintahan Banten tidak hanya bersifat politik, tetapi juga teokratis — di mana hukum Tuhan menjadi landasan moral dalam setiap keputusan negara.
2. Pembagian Wilayah dan Administrasi Daerah
Kesultanan Banten membagi wilayahnya menjadi beberapa daerah administratif, mirip dengan sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah dan India. Setiap daerah dipimpin oleh seorang bupati atau tumenggung yang ditunjuk langsung oleh Sultan.
Wilayah inti, yaitu Kota Surosowan, menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat kegiatan ekonomi dan budaya. Di sekitar istana Sultan berdiri kompleks pemerintahan, masjid agung, dan pasar besar yang menjadi jantung kehidupan masyarakat.
Banten juga memiliki sistem birokrasi yang efisien dalam hal pajak dan perdagangan. Setiap daerah wajib menyetorkan hasil bumi seperti lada, beras, atau kayu cendana ke pusat kerajaan. Dalam sistem ini, loyalitas terhadap Sultan menjadi kunci utama stabilitas politik.
Selain itu, Sultan mengangkat pejabat yang disebut wakil raja atau panglima daerah, yang bertugas menjaga perbatasan dan mengamankan jalur laut. Keberadaan mereka penting, mengingat Banten sering berhadapan dengan ancaman Portugis, Belanda, dan VOC.
Sistem pemerintahan yang terorganisir dengan baik inilah yang membuat Banten mampu bertahan dan bersaing dengan kekuatan Eropa selama lebih dari dua abad.
3. Hubungan antara Pemerintah dan Rakyat
Salah satu kekuatan utama sistem pemerintahan Banten terletak pada hubungan harmonis antara Sultan dan rakyat. Rakyat tidak hanya dipandang sebagai subjek, tetapi juga bagian dari keluarga besar kerajaan. Dalam tradisi Banten, Sultan memiliki kewajiban moral untuk menjaga kesejahteraan rakyat, sementara rakyat wajib menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan terhadap pemerintahan.
Bentuk hubungan ini tercermin dalam berbagai kegiatan sosial seperti gotong royong membangun masjid, irigasi, dan pelabuhan, serta tradisi upacara kerajaan yang melibatkan masyarakat luas. Sultan sering kali turun langsung ke lapangan untuk mendengarkan keluhan rakyat, memperkuat legitimasi moralnya sebagai pemimpin yang adil.
Keterlibatan ulama dalam pemerintahan juga menjadi jembatan antara rakyat dan Sultan. Para ulama berperan sebagai penasehat spiritual dan penghubung antara hukum agama dengan kebijakan kerajaan, menciptakan keseimbangan antara dunia politik dan dunia moral.
Sistem Hukum Kesultanan Banten: Antara Syariat Islam dan Adat Lokal
Salah satu aspek paling menarik dari Kesultanan Banten adalah bagaimana kerajaan ini menerapkan sistem hukum yang bersumber dari dua akar utama: hukum Islam (syariat) dan hukum adat. Kombinasi keduanya menciptakan sistem keadilan yang unik, fleksibel, dan relevan dengan kondisi masyarakat setempat.
1. Dasar-Dasar Hukum Islam di Banten
Sebagai kerajaan Islam, Banten menempatkan syariat Islam sebagai dasar utama dalam kehidupan sosial dan pemerintahan. Hukum Islam diterapkan dalam berbagai aspek, terutama dalam bidang perdata dan pidana ringan, seperti perkawinan, waris, zakat, wakaf, dan moralitas masyarakat.
Penegakan hukum Islam dilakukan oleh pejabat yang disebut Qadhi (hakim agama) dan Penghulu, yang diangkat langsung oleh Sultan. Qadhi memiliki wewenang mengadili perkara berdasarkan kitab-kitab fikih mazhab Syafi’i, yang menjadi mazhab dominan di Nusantara.
Selain Qadhi, terdapat pula lembaga Mahkamah Syariah, yang menangani kasus keagamaan dan sosial masyarakat. Jika kasus yang dihadapi lebih berat, seperti pengkhianatan atau pemberontakan, maka perkara tersebut akan dibawa langsung ke pengadilan kerajaan, di mana Sultan berperan sebagai hakim tertinggi.
Sultan Maulana Yusuf dan Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sangat tegas dalam menerapkan hukum Islam, namun tetap memperhatikan kearifan lokal. Hukuman tidak hanya dimaksudkan untuk memberi efek jera, tetapi juga sebagai sarana mendidik dan memperbaiki moral masyarakat.
2. Integrasi Hukum Adat
Meskipun hukum Islam mendominasi, hukum adat tetap memainkan peran penting dalam sistem peradilan Banten. Hal ini karena masyarakat setempat masih berpegang kuat pada norma dan tradisi turun-temurun.
Hukum adat diterapkan dalam urusan tanah, perkebunan, perikanan, serta hubungan antarwarga. Kepala desa atau lurah bertugas sebagai hakim pertama dalam menyelesaikan sengketa ringan. Prinsip yang digunakan adalah musyawarah dan mufakat, mencerminkan nilai gotong royong dan solidaritas sosial yang tinggi.
Ketika hukum adat bertentangan dengan syariat, maka hukum Islam menjadi prioritas utama, namun dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Kesultanan Banten sangat bijak dalam mengelola keberagaman sosial dan budaya di wilayahnya.
3. Sanksi dan Pelaksanaan Hukum
Dalam sistem hukum Banten, sanksi diberikan dengan mempertimbangkan tingkat kesalahan, niat pelaku, serta dampaknya terhadap masyarakat. Beberapa bentuk hukuman yang dikenal antara lain:
- Denda (diyat) bagi pelanggaran ringan seperti mencuri hasil kebun atau berkelahi.
- Hukuman fisik seperti cambuk atau kurungan bagi pelanggaran moral atau tindak kriminal.
- Hukuman mati bagi pengkhianatan terhadap Sultan atau pemberontakan bersenjata.
Namun, pelaksanaan hukuman selalu diawali dengan proses pengadilan terbuka, di mana saksi dan bukti diperiksa secara adil. Sultan berhak memberi ampunan (grasi) kepada terdakwa jika ditemukan alasan kemanusiaan atau penyesalan yang mendalam.
Selain itu, hukum Islam di Banten juga menekankan taubat dan pengampunan, bukan hanya pembalasan. Prinsip inilah yang membedakan hukum Banten dari sistem hukum kolonial yang kemudian masuk setelah kekuasaan Belanda.
4. Etika Hukum dan Peran Ulama
Ulama memiliki peran sentral dalam sistem hukum Kesultanan Banten. Mereka tidak hanya menjadi penasihat Sultan, tetapi juga berperan sebagai penjaga moral masyarakat. Keputusan-keputusan penting, termasuk penegakan hukum, sering kali dikonsultasikan dengan para ulama untuk memastikan kesesuaiannya dengan syariat.
Selain itu, Banten juga memiliki lembaga pendidikan Islam seperti pesantren yang berfungsi menanamkan nilai-nilai hukum dan etika kepada generasi muda. Dengan demikian, hukum tidak hanya ditegakkan melalui hukuman, tetapi juga melalui pendidikan moral dan spiritual.
Kesimpulan
Kesultanan Banten adalah contoh nyata dari peradaban Islam Nusantara yang matang, di mana sistem pemerintahan dan hukum berjalan beriringan dengan nilai keagamaan dan adat lokal. Pemerintahan Banten menunjukkan keseimbangan antara kekuasaan Sultan yang kuat dan struktur birokrasi yang tertata, sementara sistem hukumnya menggambarkan keadilan yang humanis dan berlandaskan moral.
Sultan bertindak sebagai pemimpin dunia dan agama, didukung oleh para pejabat, ulama, dan rakyat yang memiliki kesetiaan tinggi terhadap kerajaan. Sistem administrasi yang efisien, struktur hukum yang berimbang antara syariat dan adat, serta peran aktif masyarakat menjadikan Banten sebagai kerajaan yang makmur dan disegani.
Lebih dari sekadar pusat perdagangan, Banten merupakan laboratorium sosial dan politik yang membentuk fondasi bagi lahirnya sistem pemerintahan modern di Indonesia. Prinsip-prinsip yang diterapkan — seperti keadilan, musyawarah, dan keseimbangan kekuasaan — tetap relevan hingga kini sebagai inspirasi bagi tata kelola pemerintahan yang berkeadilan dan beretika.
Warisan Kesultanan Banten mengajarkan kita bahwa kekuatan sejati sebuah pemerintahan bukan hanya terletak pada militernya, tetapi pada kebijaksanaan hukum dan moralitas pemimpinnya. Dari istana Surosowan hingga pelabuhan Karangantu, nilai-nilai tersebut masih bergema sebagai simbol kejayaan masa lalu dan teladan bagi masa depan bangsa.