Perlawanan Sultan Hasanuddin: Ayam Jantan dari Timur Melawan VOC – Pada abad ke-17, Nusantara menjadi ajang perebutan kekuasaan antara kerajaan-kerajaan lokal dan kekuatan kolonial Eropa, terutama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), perusahaan dagang Belanda yang berambisi menguasai jalur rempah-rempah di kawasan timur Indonesia. Di antara banyak kerajaan yang mencoba mempertahankan kedaulatannya, Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan muncul sebagai kekuatan besar yang berani menentang dominasi asing. Dari kerajaan inilah lahir sosok pahlawan yang dikenal dengan julukan “Ayam Jantan dari Timur” — Sultan Hasanuddin.
Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada tahun 1631 dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana. Ia naik tahta sebagai raja Gowa ke-16 pada tahun 1653 menggantikan ayahnya, Sultan Malikussaid. Sejak muda, Hasanuddin dikenal sebagai sosok cerdas, pemberani, dan memiliki semangat juang yang tinggi untuk mempertahankan kemerdekaan rakyatnya.
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Gowa adalah kerajaan maritim kuat yang menjadi pusat perdagangan di kawasan timur Indonesia. Letak geografis Makassar yang strategis menjadikannya pelabuhan transit penting antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kapal dari berbagai bangsa — termasuk Portugis, Spanyol, Inggris, dan pedagang Asia — berdatangan untuk berdagang di pelabuhan Somba Opu. Namun, VOC tidak menyukai kebebasan perdagangan ini, karena mereka ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah di seluruh kepulauan Nusantara.
VOC menuntut agar Gowa tunduk dan hanya berdagang dengan Belanda, tetapi Sultan Hasanuddin menolak keras. Baginya, perdagangan bebas adalah hak setiap bangsa, dan Makassar tidak akan menyerahkan kedaulatannya pada kekuatan asing mana pun. Dari sinilah benih konflik besar antara Gowa dan VOC mulai tumbuh.
Sikap keras Sultan Hasanuddin ini membuat Belanda menganggapnya sebagai musuh utama. Ia tidak hanya melindungi kepentingan rakyatnya, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Bahkan, keberanian dan keteguhan hatinya membuat seorang pejabat tinggi Belanda menjulukinya “De Haantje van het Oosten”, yang berarti “Ayam Jantan dari Timur”. Julukan ini melambangkan kegagahannya yang tidak pernah mundur dari medan perang.
Selain memiliki visi politik yang kuat, Sultan Hasanuddin juga seorang pemimpin religius dan reformis. Ia berupaya memperkuat syariat Islam di Gowa serta memperluas hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, seperti Ternate, Bone, dan Bima. Namun, di antara ambisi-ambisi luhur itu, peperangan besar melawan VOC menjadi bab paling heroik dalam perjalanan hidupnya.
Perang Makassar dan Strategi Perlawanan Sang Ayam Jantan dari Timur
Konflik antara Kerajaan Gowa dan VOC mencapai puncaknya dalam peristiwa yang dikenal sebagai Perang Makassar (1666–1669). Peperangan ini bukan hanya pertempuran antara dua kekuatan, melainkan simbol perlawanan bangsa pribumi terhadap kolonialisme dan monopoli ekonomi asing.
1. Awal Konflik dan Diplomasi yang Gagal
VOC pertama kali menekan Gowa agar menandatangani perjanjian yang membatasi perdagangan bebas. Namun, Sultan Hasanuddin menolak. Ia percaya bahwa pelabuhan Makassar terbuka bagi semua bangsa, dan tidak ada satu pun kekuatan yang berhak memonopoli laut Nusantara.
Belanda kemudian bersekongkol dengan Kerajaan Bone, yang saat itu dipimpin oleh Arung Palakka, seorang bangsawan Bugis yang memiliki dendam pribadi terhadap Gowa. Arung Palakka sebelumnya adalah tahanan politik Gowa yang melarikan diri ke Batavia dan bergabung dengan VOC. Kolaborasi antara VOC dan Arung Palakka menjadi faktor kunci dalam kekalahan Gowa di kemudian hari.
Ketegangan semakin meningkat ketika VOC membangun benteng pertahanannya di Makassar yang disebut Benteng Rotterdam (atau Benteng Ujung Pandang). Sultan Hasanuddin menganggap tindakan ini sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatan Gowa.
2. Perang Besar Dimulai (1666–1669)
VOC mengirim ekspedisi militer besar di bawah pimpinan Cornelis Speelman, seorang komandan yang terkenal licik dan ambisius. Speelman mendarat di Sulawesi Selatan pada tahun 1666 dengan kekuatan besar yang terdiri dari pasukan Belanda dan sekutunya dari Bone.
Pertempuran sengit terjadi di berbagai wilayah sekitar Makassar, termasuk Somba Opu, Panakkukang, dan Galesong. Sultan Hasanuddin memimpin pasukannya langsung di garis depan. Strateginya adalah menggunakan kombinasi taktik laut dan darat, memanfaatkan armada kapal Gowa yang kuat serta benteng-benteng pertahanan yang kokoh.
Dalam beberapa pertempuran awal, pasukan Gowa berhasil menahan laju Belanda dan sekutunya. Armada laut Makassar yang terdiri dari perahu phinisi dan lambo menjadi senjata utama untuk menghalau kapal-kapal VOC. Bahkan, beberapa laporan Belanda mencatat bahwa keberanian prajurit Makassar begitu luar biasa sehingga pasukan VOC sering kali mengalami kerugian besar.
Namun, VOC memiliki sumber daya yang jauh lebih besar dan strategi militer yang terorganisir. Dengan bantuan pasukan Arung Palakka dan dukungan senjata api modern, posisi Gowa mulai terdesak. Perang berlangsung selama tiga tahun dan menguras banyak tenaga serta sumber daya.
3. Perjanjian Bongaya dan Kekalahan yang Terhormat
Pada tahun 1667, setelah pertempuran panjang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya di Desa Bongaya, Makassar. Perjanjian ini berisi 29 pasal yang sangat merugikan pihak Gowa. Beberapa isi pentingnya antara lain:
- Kerajaan Gowa harus mengakui kekuasaan VOC atas wilayah perdagangan di Sulawesi Selatan.
- Gowa harus menyerahkan benteng-bentengnya kepada VOC.
- Hanya VOC yang berhak berdagang di Makassar.
- Gowa wajib mengembalikan tawanan perang dan mengakui Bone sebagai kerajaan merdeka.
Meskipun telah menandatangani perjanjian tersebut, Sultan Hasanuddin tidak tinggal diam. Ia merasa VOC melanggar banyak pasal dan tetap menindas rakyat Gowa. Akhirnya, perlawanan kembali meletus pada tahun 1668.
Dalam serangan balasan ini, Sultan Hasanuddin menunjukkan keberanian luar biasa. Namun, kekuatan Gowa sudah sangat melemah. Banyak pasukan dan rakyat yang gugur, sementara Arung Palakka dan VOC terus menekan dari berbagai arah. Pada tahun 1669, Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda setelah pertempuran besar.
Meskipun kalah secara militer, Sultan Hasanuddin tidak pernah menyerah secara moral. Ia memilih mundur dari pemerintahan dan hidup sebagai rakyat biasa hingga wafat pada tahun 1670. Sikapnya ini menunjukkan kehormatan dan kebijaksanaan seorang pemimpin sejati — kalah bukan berarti tunduk, melainkan menjaga martabat bangsa.
4. Warisan Perjuangan dan Pengaruhnya bagi Nusantara
Perlawanan Sultan Hasanuddin tidak berhenti pada akhir hidupnya. Semangatnya menginspirasi banyak tokoh perjuangan di Nusantara, terutama di wilayah timur Indonesia. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan kolonial dan perjuangan mempertahankan kedaulatan.
Julukan “Ayam Jantan dari Timur” bukan sekadar kiasan, melainkan pengakuan internasional atas keberanian dan keuletannya. Bahkan, Belanda sendiri mengakui bahwa Hasanuddin adalah lawan yang sangat sulit ditaklukkan. Dalam catatan VOC, Cornelis Speelman menulis bahwa Sultan Hasanuddin adalah “raja paling tangguh yang pernah kami hadapi di seluruh Hindia Timur.”
Makna Kepemimpinan Sultan Hasanuddin di Era Modern
Sultan Hasanuddin bukan hanya seorang raja yang gagah berani, tetapi juga pemimpin visioner yang memahami makna kedaulatan, kebebasan, dan harga diri bangsa. Dalam konteks modern, nilai-nilai perjuangannya tetap relevan — terutama di tengah tantangan globalisasi, persaingan ekonomi, dan penjajahan bentuk baru.
1. Keteguhan dalam Menolak Dominasi Asing
Sultan Hasanuddin menolak keras monopoli perdagangan VOC karena memahami bahwa ekonomi adalah kunci kedaulatan sebuah bangsa. Ia ingin agar Makassar menjadi pelabuhan bebas di mana semua bangsa bisa berdagang tanpa penindasan. Prinsip ini menggambarkan kemandirian ekonomi dan politik yang menjadi fondasi penting bagi negara modern.
Dalam konteks sekarang, sikap ini mengajarkan pentingnya menjaga kedaulatan ekonomi nasional di tengah tekanan asing dan globalisasi. Negara yang kuat adalah negara yang berdaulat secara ekonomi — inilah warisan pemikiran Sultan Hasanuddin yang masih relevan hingga hari ini.
2. Kepemimpinan Berbasis Rakyat dan Kehormatan
Sultan Hasanuddin dikenal dekat dengan rakyatnya. Ia tidak hanya memimpin dari istana, tetapi juga turun langsung ke medan perang. Ia hidup sederhana dan menolak untuk tunduk demi keuntungan pribadi. Prinsip “lebih baik gugur terhormat daripada hidup terhina” menjadi semangat kepemimpinannya.
Dalam dunia modern, nilai-nilai ini menjadi teladan bagi para pemimpin yang harus mengutamakan kepentingan rakyat di atas ambisi politik. Keberanian moral untuk menolak ketidakadilan, bahkan dari kekuatan besar sekalipun, adalah bentuk integritas yang jarang dimiliki pemimpin masa kini.
3. Persatuan sebagai Kekuatan Utama
Salah satu kelemahan dalam perjuangan Gowa adalah kurangnya persatuan di antara kerajaan-kerajaan Nusantara. VOC berhasil memanfaatkan konflik internal antar kerajaan untuk memperkuat posisinya. Sultan Hasanuddin sebenarnya menyadari pentingnya persatuan, namun kondisi sosial politik saat itu membuat hal tersebut sulit diwujudkan.
Pelajaran berharga dari kisah ini adalah bahwa perpecahan hanya menguntungkan penjajah, sementara persatuan akan memperkuat kemandirian bangsa. Semangat ini menjadi dasar bagi lahirnya Bhinneka Tunggal Ika di kemudian hari.
Kesimpulan
Perlawanan Sultan Hasanuddin melawan VOC adalah salah satu bab paling heroik dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai “Ayam Jantan dari Timur,” ia bukan hanya simbol keberanian, tetapi juga lambang keteguhan hati dalam mempertahankan kedaulatan dan kehormatan bangsa.
Dari perlawanan Gowa, kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan hanya pada senjata, tetapi juga pada keyakinan dan semangat pantang menyerah. Sultan Hasanuddin menunjukkan bahwa meskipun kalah secara fisik, sebuah bangsa bisa menang secara moral ketika berjuang dengan prinsip dan harga diri.
Kini, ratusan tahun setelah wafatnya, nama Sultan Hasanuddin tetap harum sebagai pahlawan nasional yang mengajarkan arti keberanian, keadilan, dan cinta tanah air. Nilai-nilai perjuangannya menjadi cermin bagi generasi modern untuk terus menjaga kedaulatan, persatuan, dan martabat bangsa Indonesia.