Asal-usul Mumi Tarim Basin yang Kontroversial dalam Sejarah Manusia – Mumi Tarim Basin adalah salah satu penemuan arkeologis paling mencengangkan dalam sejarah manusia. Terletak di wilayah barat China yang kini dikenal sebagai Xinjiang, mumi-mumi ini ditemukan dalam kondisi sangat terawat di tengah Gurun Taklamakan yang kering. Yang membuat mereka kontroversial bukan hanya karena usia mereka yang mencapai ribuan tahun, tetapi juga karena ciri-ciri fisik mereka yang tidak mencerminkan etnis Asia Timur pada umumnya.
Temuan ini mengubah banyak pandangan tentang siapa sebenarnya yang pertama kali menetap di wilayah Asia Tengah, serta memicu debat tentang migrasi kuno, identitas budaya, hingga politik modern di wilayah sensitif tersebut.
Penemuan Mumi di Gurun Taklamakan
1. Lokasi dan Kondisi Penemuan
Penemuan mumi-mumi ini terjadi sejak awal abad ke-20, tetapi baru benar-benar menarik perhatian dunia pada tahun 1980-an ketika para arkeolog China dan luar negeri mulai menggali lebih dalam. Mereka ditemukan di beberapa situs pemakaman kuno seperti Qäwrighul, Subeshi, dan Xiaohe, yang terletak di sekitar Cekungan Tarim di wilayah Xinjiang, Tiongkok barat laut.
Yang mengejutkan, tubuh-tubuh ini terawetkan secara alami tanpa bantuan proses pembalseman seperti pada mumi Mesir. Iklim gurun yang sangat kering serta garam alami dalam tanah membantu menjaga kondisi jaringan tubuh, pakaian, dan bahkan rambut selama lebih dari 3.000 tahun.
2. Ciri Fisik yang Tak Biasa
Hal yang paling menimbulkan kontroversi adalah penampilan fisik para mumi. Beberapa di antaranya memiliki rambut pirang atau merah, hidung mancung, tinggi badan sekitar 180 cm, serta bentuk wajah khas orang Eropa Utara. Penampilan ini sangat berbeda dari penduduk lokal modern di wilayah tersebut, yang mayoritas berasal dari ras Asia Timur atau Turkik.
Salah satu mumi paling terkenal adalah “Beauty of Loulan”, seorang perempuan yang diperkirakan hidup sekitar 1800 SM. Tubuhnya ditemukan dalam kondisi hampir utuh, lengkap dengan pakaian tenun, sepatu kulit, dan rambut panjang berwarna coklat kemerahan.
Ciri-ciri ini membingungkan banyak pihak dan menimbulkan pertanyaan besar: Apakah orang Eropa pernah menetap di Asia Tengah jauh sebelum bangsa China kuno berkembang?
Kontroversi, Genetika, dan Politik Identitas
1. Hasil Uji DNA dan Teori Migrasi
Untuk menjawab pertanyaan tentang asal-usul mereka, para peneliti melakukan uji DNA terhadap mumi-mumi tersebut. Hasilnya mengejutkan: mereka memiliki campuran genetik dari populasi Indo-Eropa awal, seperti Tocharian atau bahkan kelompok dari wilayah Laut Hitam dan Kaspia.
Beberapa ilmuwan meyakini bahwa mumi ini merupakan bagian dari migrasi besar-besaran manusia dari Eropa ke Asia Tengah pada zaman perunggu. Budaya dan gaya pakaian mereka, seperti kain wol bermotif tartan dan sepatu kulit, menunjukkan kemiripan dengan budaya di Eropa prasejarah.
Namun, teori ini menantang narasi sejarah resmi China yang menyatakan bahwa wilayah Xinjiang telah menjadi bagian dari peradaban Tionghoa selama ribuan tahun. Temuan ini digunakan oleh sebagian pihak untuk memperkuat identitas budaya non-Tionghoa di kawasan tersebut, terutama oleh etnis Uyghur yang kini tinggal di wilayah Tarim Basin.
2. Kepentingan Politik dan Pembatasan Riset
Akibat sensitivitas politik, pemerintah China sempat membatasi akses peneliti asing ke situs dan mumi-mumi tersebut. Bahkan sebagian penelitian DNA dilakukan secara diam-diam atau harus menunggu persetujuan bertahun-tahun. Beberapa ahli menilai hal ini sebagai bentuk kekhawatiran pemerintah bahwa temuan tersebut bisa digunakan sebagai dasar klaim sejarah oleh kelompok separatis.
Namun, pada 2021, penelitian genetik berskala besar yang diterbitkan di jurnal Nature memberikan hasil yang lebih seimbang. Studi tersebut mengungkap bahwa mumi Tarim bukanlah imigran dari Eropa, melainkan keturunan dari kelompok pemburu-pengumpul lokal yang telah menetap ribuan tahun lebih awal di kawasan Asia Tengah. Mereka memiliki hubungan genetik dengan populasi Paleolitik Siberia dan Asia Timur kuno, yang menunjukkan adanya kompleksitas dalam sejarah migrasi manusia.
3. Implikasi Terhadap Sejarah Asia
Penemuan dan studi lanjutan tentang mumi Tarim mengubah pandangan konvensional tentang jalur migrasi manusia dan hubungan antar budaya kuno. Bukti-bukti menunjukkan bahwa wilayah Asia Tengah adalah persimpangan penting peradaban kuno—bukan hanya dari Timur ke Barat, tapi juga sebaliknya.
Mumi-mumi ini memperlihatkan bahwa pertukaran budaya, teknologi tekstil, dan bahkan bahasa bisa saja terjadi jauh sebelum Jalur Sutra terbentuk secara resmi pada masa Dinasti Han. Beberapa ahli bahasa bahkan menyebutkan kemungkinan keberadaan rumpun bahasa Tocharian yang berakar dari Indo-Eropa dan sempat digunakan di Tarim Basin sebelum akhirnya punah.
Kesimpulan
Mumi Tarim Basin bukan hanya sekadar peninggalan kuno yang terawetkan di padang pasir. Mereka adalah saksi bisu sejarah panjang dan kompleks dari peradaban manusia yang melintasi benua. Ciri fisik mereka yang tidak biasa memicu kontroversi dan perdebatan ilmiah, mulai dari asal-usul genetika, migrasi manusia purba, hingga narasi politik kontemporer.
Hasil penelitian DNA terbaru menunjukkan bahwa mereka bukanlah imigran dari Eropa, melainkan kelompok lokal dengan warisan genetik unik. Ini membuktikan bahwa sejarah manusia tidak hitam-putih, melainkan penuh dengan lapisan dan keragaman yang saling berinteraksi.
Di tengah arus politik dan identitas modern, mumi Tarim Basin tetap menjadi pengingat bahwa peradaban manusia telah lama berjejaring secara global — bahkan sebelum istilah “globalisasi” dikenal. Dengan pemahaman yang lebih dalam terhadap mereka, kita bukan hanya mengenal masa lalu, tapi juga bisa belajar bagaimana budaya, migrasi, dan genetika telah membentuk dunia yang kita tinggali hari ini.